Selasa, 27 Desember 2016
info islam
Mengapa Ulama Sering Berbeda Menafsirkan Alquran?
SESUNGGUHNYA Alquran Al-Karim itu adalah kitab yang mengandung
mukjizat. Salah satu wujud mukjizat
itu adalah kandungannya yang tidak
pernah berhenti mengalir. Setiap saat
selalu ada ilmu baru yang lahir dari
Alquran.
Sehingga tiap ayat memang bisa
melahirkan ilmu yang berbeda-beda,
tergantung siapa yang mencoba
menggalinya. Para ahli tafsir sendiri
sesungguhnya punya latar belakang
pendekatan yang bervariasi ketika
menggali ayat-ayatnya. Ada yang
mendekati penafsiran Alquran dari
segi bahasa, ada juga yang
menekankan dari segi ilmu fiqihnya,
ada lagi yang menekankan dari segi
sejarahnya, ada lagi yang
menekankan dari segi semangat
perjuangan dan jihad, ada pula yang
menekankan dari segi tauhid dan
keimanan. Dan masih banyak lagi
corak dan ragam tafsir.
Namun dari kesemuanya itu, antara
satu kitab tafsir dengan kitab yang
lainnya tidak mengalami perbedaan
esensi yang saling bertabrakan.
Sebaliknya, masing-masing tafsir itu
justru saling memperkaya tafsir
lainnya. Suatu pelajaran menarik dan
penting yang luput diungkap oleh
sebuah kitab tafsir, akan kita temukan
di dalam kitab lainya. Khusus dalam
ruang lingkup tafsir hukum fiqih, bila
terjadi perbedaan dalam menafsirkan
suatu ayat, memang merupakan hal
yang harus diakui keberadaannya.
Namun perbedaan itu tidak timbul
kecuali memang disebabkan oleh ayat
itu sendiri yang memberi peluang
timbulnya perbedaan penafsiran.
Sehingga kita tidak bisa menyalahkan
para ahli tafsirnya karena mereka
saling berbeda kesimpulan.
Bahkan petunjuk Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam sebagai
representasi dari Alquran yang
berjalan, seringkali dipahami oleh
para shahabat dengan versi yang
berbeda-beda. Yang salah tentu bukan
para sahabat, melainkan kalimat dari
Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam itu memang bisa dipahami
dengan beberapa kesimpulan yang
saling berbeda. Misalnya ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpesan kepada pasukan untuk tidak salat Asar kecuali di perkampungan Yahudi Bani Quraidhzah. Sebagian pasukan mentaati perintah itu secara zahirnya, yaitu mereka tidak salat Asar meski matahari hampir terbenam. Sebab
perjalanan mereka masih jauh dari
tujuan. Barulah para malam hari
mereka tiba dan sebagian dari mereka
mengerjakan salat Asar di tempat
yang ditentukan oleh Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam, meski
waktunya sudah lewat.
Sebagian lagi tetap salat Ashar di
jalan tepat pada waktunya, lantaran
mereka memahami bahwa tujuan
Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam melarang mereka salat Asar
di perkampungan Yahudi Bani
Quradhzah adalah agar perjalanan
mereka lebih cepat. Namun apabila
kenyataannya target itu tidak tercapai,
tetap harus menjalankan salat Asar
para waktunya. Ketika Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasalam
mendengar perbedaan pendapat ini,
beliau tidak menyalahkan salah
satunya. Keduanya dibenarkan meski
saling berbeda secara nyata.
Maka demikian juga yang terjadi pada
ayat-ayat Alquran, banyak di
dalamnya kalimat yang bisa dipahami
secara berbeda, tanpa harus keluar
dari kaidah baku penafsiran. Di
antaranya perbedaan para fuqaha
dalam menafsirkan makna quru' yang
terdapat di dalam ayat berikut,
"Wanita-wanita yang ditalak
handaklah menahan diri tiga kali
quru'." (QS. Al-Baqarah: 228)
Ketika para ahli tafsir merujuk kepada
ahli bahasa arab, ternyata makna quru'
itu memang ada 2 macam yang saling
berbeda. Makna pertama adalah masa
haid sedangkan makna kedua adalah
masa suci dari haid. Keduanya sama-
sama disebut dengan quru' dalam
bahasa arab. Dengan demikian, satu
ayat ini mungkin bisa ditafsrikan
menjadi tiga kali masa haid, namun
pada waktu yang sama bisa
ditafsirkan menjadi tiga kali masa
suci dari haid. Kesalahan bukan di
tangan para mufassir, melainkan Allah
Ta'ala sendiri yang menurunkan ayat
ini. Tentunya Allah Ta'ala kalau mau, bisa saja menyebutkan dengan kalimat
yang jelas, tegas dan tidak
mengandung makna ganda yang saling
berbeda. Namun kenyataannya
memang itulah yang ada. Sehingga
kalau para ulama berbeda pendapat
dalam menafsirknnya, bukan sebuah
dosa. Dan syariat Islam menyadari
kemungkinan terjadinya perbedaan
dalam menafsirkan suatu ayat. Tidak
ada yang hina dalam masalah
perbedaan tafsir hukum ini. Bahkan
sebaliknya, kita bisa merasa bangga
dengan kekayaan khazanah ilmu
hukum Islam dengan ada banyaknya
variasi pendapat lewat perbedaan
cara memahami suatu dalil.
Karena itu sejak dini para ulama salaf
sudah mengembangkan sistem akhlak
dan etika berbeda pendapat. Di mana
intinya adalah mereka saling
menghormati, menjunjung tinggi dan
saling menghargai pendapat
saudaranya yang sekiranya tidak
sama dengan apa yang mereka
pahami. Tidak pernah kita dengar para
salafus shalih itu saling mencaci,
saling memaki atau saling menghujat
bahkan mengumbar aib saudaranya di
depan khalayak. Akhlak mereka
sungguh sangat mulia seiring bersama
keluasan ilmu yang mereka miliki.
Keadaan ini seringkali berbanding
terbalik dengan fenomena di masa kita
sekarang ini. Begitu mudahnya orang-
orang yang mengaku pengikut ulama
salaf, namun perbuatan, perkataan dan
akhlaknya justru menginjak-injak
etika para salaf. Lidah mereka lebih
sering mencaci maki orang lain
ketimbang berzikir kepada Allah.
Tulisan mereka lebih sering
merupakan hujatan dan umpatan
ketimbang ajakan. Bahkan seringkali
merasa hanya kelompok mereka saja
yang berhak mengeluarkan fatwa,
sedangkan siapapun yang punya fatwa
yang berbeda dengan mereka, meski
datang dari tulisan para
salafushshalih sendiri, langsung
dihujat habis-habisan dan dituduh
sebagai ahli bid'ah yang pasti masuk
neraka. Nauzu billahi min zalik.
Padahal para salafus-shalih di masa
lalu terbiasa dengan perbedaan
pendapat. Justru ciri khas mereka
adalah berbeda pendapat, namun tetap
saling menyayangi bahkan sangat
mesra. Caci maki, umpatan, hujatan
dan tuduhan sebagai ahli neraka tidak
pernah mereka contohkan. Sebab
perbedaan pendapat dalam masalah
hukum adalah sebuah keniscayaan,
mutlak dan pasti terjadi.
Jangankan para ulama salaf, bahkan
para sahabat ridhwanullahi alaihim
pun seringkali berbeda pendapat.
Padahal mereka hidup bersama
Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam pada sebuah era yang
disebut dengan khairul qurun (masa
terbaik). Tapi tidak satu dari sahabat
itu yang memaki dengan sumpah
serapah sambil menuding temannya
sebagai calon penghuni neraka.
Sesungguhnya apa yang dilakukan
oleh segelintir orang yang kerjanya
menyumpahi orang lain yang tidak
sependapat dengannya bukanlah
termasuk ahli salaf, karena nama dan
realitanya tidak nyambung.
Semoga Allah Ta'ala menghindarkan
kita dari kejahilan dalam memahami
agama, serta mencairkan ketegangan
di antara sesama umat Islam, serta
menghimpun hati jutaan umat Islam
dewasa ini dalam sebuah kecintaan
kepada Allah Ta'ala. Sehingga mampu
menerima perbedaan pendapat persis
sebagaimana para salafus-shalih
dahulu telah mempraktekkannya.
Wallah a'lam bishshawab, wassalamu
'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
0 Response to "Mengapa Ulama Sering Berbeda Menafsirkan Alquran?"
Posting Komentar