DALAM ajaran Islam, memang
manusia diciptakan dengan bakat
dan tujuan-akhir kebahagiaan,
bukan kesengsaraan, sebagaimana
mungkin diyakini oleh sebagian
aliran psikologi modern, seperti
freudianisme.
Jika hendak disejajarkan, ajaran
Islam lebih sejalan dengan psikologi
positif (positive psychology), yang
percaya bahwa manusia berbakat
berbahagia, dan bahwa tugas
psikologi hanyalah mencuatkan
(meng-unleash) bakat berbahagia
itu. Ajaran Islam bertumpu pada
prinsip kasih sayang Tuhan Sang
Pencipta sedemikian, sehingga
seperti psikologi positif, menolak
model-model psikologi bengkel
seperti freudianisme itu.
Sampai di sini, menjadi gamblang,
bahwa kebahagiaan terkait erat
dengan kesiapan atau
kesediaansebutlah kemauanuntuk
berbahagia. Untuk berbahagia, orang
harus siap-sedia untuk berbahagia,
mau bahagia. Harus memiliki sikap
mentalatau tepatnya, sikap hati
untuk berbahagia. Dia harus
mengembangkan persangkaan-baik.
Persangkaan baik kepada kehidupan,
kepada Tuhan yang menciptakan
kehidupan. Bahwa sesungguhnya
kehidupan ini dirancang oleh
Penciptanya dalam bentuk kebaikan,
yang lahir dari kecintaan-Nya
kepada makhluk-Nya. Bahwa, jika
dilihat dalam kaca-mata positif,
dalam kesadaran akan keseluruhan
(wholeness), sesungguhnya
kehidupan tak memiliki sifat lain,
kecuali kebaikan.
Bahwa (apa yang tampak sebagai)
kesusahan sesungguhnya adalah
kebaikan (juga), hanya dia
tersamarkan. Kesusahan
sesungguhnya tak lain dari
kegagalan kita menembusi
permukaan luar atau kemasan saja,
ketidakmampuan kita menangkap
makna yang terdalam dari kejadian-
kejadian. Ketidakberhasilan kita
meraih makna di balik fenomena.
Bahwa sesungguhnya (apa yang
tampak) sebagai kesulitan dan
kesusahan itu pada hakikatnya
hanyalah pembuka jalan bagi
kebaikan yang lebih tinggi, pada
kebahagiaan.
Bahwa, kalau pun kita mentok di
tengah jalan untuk mencapai
kebaikan-kebaikan yang kita
inginkan maka sesungguhnya ia
adalah semacam pembelokan
(detour) menuju jalan yang justru
akan membawa kita kepada
pencapaian kebaikan yang lebih
besar. Bahwa sesungguhnya, Tuhan
telah menebarkan dalam kehidupan
manusia di muka bumi, tak terbatas
jalan menuju kebaikan dan
kebahagiaannya. Ke mana pun kita
mengarah dan menuju, di situ
terhampar jalan menuju kebahagiaan
kita.
Nah, sikap hati seperti inilah yang
harus kita kembangkan, kita latih
agar menjadi kebiasaan kita dalam
menjalani kehidupan, dalam melihat
atau mempersepsi apa saja yang
terjadi di kehidupan kita. Ya,
kebahagiaan memerlukan latihan.
Bagaimana Cara Melatihnya?
Pertama, kuatkan kesadaran dan
pengetahuan bahwa hidup pada
dasarnya adalah baik. Selalu
lakukan refleksi atas kehidupan kita,
dan kehidupan sesama kita. Sama
sekali tak sulit melihat dengan hati
yang terbuka, bahwa sesungguhnya
selalu saja ada hikmah atas apa
saja yang terjadi dalam kehidupan
kita. Dan sesungguhnya, kehidupan
semua manusia, kapan saja dalam
sejarah umat manusia di muka bumi.
Dan sesungguhnya keburukan
hanyalah sekadar konsep, sifatnya
relatif.
Jika kita melihatnya secara parsial,
bukan dalam keseluruhan maka
suatu kejadian bisa tampak (terasa)
sebagai keburukan. Akan tetapi, jika
kita tempatkan dalam suatu
perspektif yang komprehensif
(menyeluruh) maka sesungguhnya ia
adalah suatu pendahulu (prekursor)
bagi kebaikan yang lebih besar.
Lihatlah pengalaman hidup kita
dengan pikiran yang jernih, bacalah
pengalaman hidup sesama kita,
kapan saja dan di mana saja. Maka,
mudah-mudahan kita tak akan gagal
untuk memahami hakikat-
kebaikannya. Makin banyak kita
meyakini hal ini, mudah-mudahan
makin kuat-menancap kesadaran
kita mengenai sifat-dasar kebaikan
dalam kehidupan ciptaan Tuhan ini.
Kedua, timbulkan kemauan.
Sebetulnya ini bukan suatu hal yang
sulit jika kita sadari bahwa
kebahagiaan kita dipertaruhkan di
sini. Cobalah untuk selalu melihat ke
depan, melampaui kejadian-kejadian
itu sendiri. Ke mana kiranya ia
membawa kita? Apa makna-
positifnya? Kemudian timbulkan
sikap mental (sikap hati) sabar dan
syukur. Selalu menerima apa saja
yang datang kepada kita dengan hati
yang lapang.
Segalanya datang dari Tuhan, dan
bahwa Tuhan selalu menyimpan
maksud baik dalam segala
kebijaksanaannya. Hampir-hampir
merupakan sisi lain dari koin yang
sama, selalu kembangkan sifat-hati
syukurberterima kasihatas apa saja
yang datang kepada kita. Baik untuk
kejadian-kejadian yang di permukan
tampak sebagai kesulitanwujudnya
adalah kesabaran, dalam konteks
keyakinan bahwa ia sesungguhnya
adalah pendahulu bagi kebaikan
yang lebih tinggimaupun atas
kebaikan-kebaikan yang datang
kepada kita, sehingga kita dapat
bereaksi positif kepadanya, dan
menjadikannya benar-benar sumber
bagi sikap-sikap positif yang pada
akhirnya benar-benar bisa
mendatangkan kebahagiaan kepada
kita.
Ketiga, latihlah agar dalam diri kita
terpatri kebiasaan (habit)
kebahagiaan. Selalu upayakan
kesadaran-penuh dan kendali atas
kejadian-kejadian yang terjadi
dalam kehidupan kita. Setiap saat,
selalu operasikan kesadaran kita
atasnya. Jangan pernah kejadian-
kejadian itu menguasai kita. Jangan
biarkan kepanikan merampas
kewarasan kita. Setiap saat terjadi
suatu kejadian yang segera terasa
tidak menyenangkan, coba cari
maknanya, merogohlah lebih dalam
ke lubuk hati kita untuk dapat
menemukan makna positif darinya.
Coba upayakan hikmahnya. Coba
terawang ke arah manayakni kepada
kebaikan apakejadian ini akan
membawa kita. Lakukan berkali-kali
agar sikap seperti ini menjadi
refleks kita dalam menanggapi
kejadian apa saja yang menimpa
kita.
Jika sudah semua ini kita upayakan,
kita bisa berharap bahwa
kebahagiaan akan selalu bersama
kita tanpa kita harus mengejarnya.
Kenyataannya, kebahagiaan memang
selalu ada bersama kita, bersama
kehidupan kita. Di mana saja,
bersama apa saja, ada kebahagiaan.
Kebahagiaan ada di hati kita. Hati
kita memang diciptakan sebagai
wadah kebaikan, wadah kebenaran,
dan wadah keindahan. Yakni, total
jumlah yang melahirkan
kebahagiaan. Justru, kebahagiaan
akan mengelak jika kita kejar karena
dia tempatnya bukan di luar. Yang
tidak di luar tidak bisa dikejar. Yang
di dalam hanya perlu kita sadari dan
pahami. Kita hanya perlu
mengucapkan selamat datang
kepada kebahagiaan.
Catatan akhir
Akhirnya, kiranya perlu kita
ungkapkan juga suatu hubungan lain
yang menarik antara cinta dan
kebahagiaan. Seperti telah
disinggung di awal pembahasan
dalam bab ini, cinta pada hakikatnya
adalah kerinduan untuk memberi. Di
satu sisi, dikatakan bahwa cinta
mempersyaratkan ketanpapamrihan.
Al-Quran pun menegaskan: Dan
orang-orang yang telah menempati
Kota Madinah dan telah beriman
(Anshar) sebelum (kedatangan)
mereka (Muhajirin), mereka men
cintai orang yang berhijrah kepada
mereka. Dan mereka tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka
terhadap apa-apa yang diberikan
kepada mereka (orang Muhajirin);
dan mereka mengutamakan (orang-
orang Muhajirin), atas diri mereka
sendiri. Sekalipun mereka
memerlukan (apa yang mereka
berikan itu). Dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya,
mereka itulah orang-orang yang
beruntung. (QS Al-Hasyr [59]: 9)
Namun, jika hal ini berarti
ketanpapamrihan mutlak maka dari
manakah lahir dorongan atau bahkan
kerinduan untuk memberi itu? Benar
bahwa pemberian yang didasarkan
oleh rasa cinta yang sejati haruslah
tulus. Karena, jika tidak tulus maka
apa bedanya dengan egoisme,
dengan narsisme? Bukankah esensi
narsisme adalah dorongan memberi
dengan motif egoistik (ulterior
motive) untuk mendapatkan manfaat
bagi diri sendiri? Bagaimana cara
mengatasi kontradiksi ini?
Sebetulnya tak ada kontradiksi di
sini. Pemberian yang egoistik atau
narsistik hanyalah terjadi jika kita
mengharap balasan dari orang yang
menjadi objek pemberian kita itu.
Artinya, kita memberi sambil
mengharap ada pengurangan pada
milik objek yang kita beri untuk
kepentingan kita.
Akan tetapi, jika yang kita harapkan
adalah kebahagiaanbagi yang
menyadarinya, sesungguhnya
merupakan imbalan puncak dari
kegiatan memberi yang tulusmaka
tak ada tuntutan pengurangan pada
objek pemberian kita. Kebahagiaan
sumbernya adalah diri kita sendiri.
Seperti kita singgung di atas,
kebahagiaan sejati bersifat intrinsik,
bukan ekstrinsik.
Dalam hal ini, siapa pun tetap dapat
ketanpapamrihan dalam ketulusan
memberi, tetapi pada saat yang
sama tak kehilangan dorongan untuk
memberi karena memberi dengan
menjanjikan ganjaran paling tinggi
yang semua orang sepakat
mengenainya.
0 Response to "Tujuan Manusia Diciptakan untuk Kebahagiaan"
Posting Komentar