Rabu, 08 Februari 2017
info islam
Bukan Amal dan Ibadah yang Bawa Orang ke Surga
HAMPIR sebagian besar kita
menduga bahwa, kita dapat
memasuki surga-Nya lantaran amal
baik yang setumpuk. Dengan
meyakini Allah sebagai Tuhan yang
Maha Esa, mengakui Muhammad
utusan-Nya, mendirikan shalat lima
waktu sehari, berpuasa Ramadhan
sebulan penuh, membayar zakat,
dan melakukan ibadah haji ke
Makkah jika kita mampu.
Bahkan, ada pula yang
menambahkannya dengan berbagai
amalan atau ibadah sunnah lainnya,
dengan harapan bisa memenuhi
target terbesar hidup kita, yakni
masuk surga. Kita merasa bahwa
sederet amal itu sebanding dengan
harga surga. Dan, karenanya
pantaslah bila kita kemudian
dipersilakan memasukinya.
Namun, Ibn Atoilah, dalam hampir
setiap aforismenya, mengatakan
manusia perlu waspada bila sudah
mulai memuji dirinya, memuji
amalnya, bahkan merasa kebenaran
itu milik dirinya. Manusia patut
menilik kembali keyakinan dalam
hatinya, apakah ia benar-benar
mengimani Allah dengan segenap
keberserahan dirinya, atau hanya
ingin menukar semua yang
dilakukan dengan surga.
Jika seseorang percaya bahwa
melalui tindakan ini mereka akan
mendapatkan kebahagiaan mereka di
akhirat, ia patut memberikan
penilaian ulang terhadap dirinya.
Nabi Muhammad Saw. bersabda,
Tidak akan ada di antara kalian yang
masuk surga lantaran amal ibadah
kalian.Para sahabat bertanya, Tidak
ada, bahkan itu berlaku untukmu, Ya
Rasulullah?
Rasul menjawab, Bahkan aku pun
tidak, kecuali jika Allah meliputiku
dengan kasih dan sayang-Nya.
Cerita dalam hadis di atas bukan
berarti kita harus berhenti
melakukan kewajiban dan kemudian
melakukan tindakan seenaknya
tanpa melihat rambu-rambu-Nya.
Hadis tersebut menunjukkan apalah
artinya kita, yang bahkan sudah
melakukan amal sedemikin banyak
pun, jika dihitung, tak akan pernah
mencukupi segala karunia-Nya.
Betapa sombongnya kita jika
berusaha tawar menawar dan
menghitung-hitung tiap detail yang
kita lakukan guna ditukar dengan
surga. Padahal, apa yang dilakukan
tidak akan cukup untuk menunjukkan
terima kasih kepada Allah atas
segala kasih sayang-Nya yang
diberikan tanpa henti.
Ada sebuah kisah, yang
menceritakan tentang seorang pria
petapa memilih hidup di pegunungan
untuk menjauhi orang-orang. Hal ini
ia lakukan dengan maksud agar tidak
melakukan dosa pada makhluk yang
lain.
Selama 500 tahun ia menghabiskan
waktunya hanya untuk berdoa dan
beribadah. Ia hanya makan buah
delima yang tumbuh di sekitar
tempat petapanya itu. Ia juga hanya
meminum mata air di dekatnya, dan
tidak melakukan kontak dengan
siapa pun. Ia nyaris bebas dari dosa.
Ketika meninggal, Allah berkata
kepadanya, Masukkan ia ke dalam
surga karena kasih sayang-Ku. Pria
itu berteriak dan berkata, Dengan
amalku, Tuhan.
Ia mengira bahwa amalnya selama
500 tahun, dengan tanpa melakukan
dosa sedikit pun mampu ditukar
dengan surga, dan mendapatkan
pahala yang paling besar.
Allah menjawab dengan mengatakan,
Benarkah kamu ingin diadili?
Kemudian Allah memerintahkan para
malaikat, Perlihatkan buku amalnya,
dan hitunglah!
Para malaikat segera rembukan,
membahas setiap detail amal yang
pernah dilakukan sang rahib
tersebut. Usai menghitung, salah
satu malaikat pun melaporkan dan
menimbangnya dengan besarnya
kasih sayang Allah. 500 tahun
ibadah dengan tanpa dosa ditimbang
dengan kasih sayang Robbul Izzat.
Ujar sang malaikat.
Pada titik ini, pria itu panik dan
menangis seraya berkata, Ya, Robb.
Sungguh karena rahmat-Mu lah aku
bisa memasuki surga.
Ibn Atoilah menjelaskan sederet
kisah di atas untuk membimbing
kita, agar tidak merasa berhak atas
reward sebagai akibat dari amal
kita. Bahkan, Allah memberitahu kita
dalam Quran bahwa semua yang kita
lakukan sesungguhnya karena kita
dipandu dan diarahkan Dia, sehingga
kita mampu melakukan amal-amal
yang baik.
Oleh karena itu, Ibn Atoilah
menekankan pada kita akan
pentingnya sikap keberserahan diri
hanya pada-Nya. Harapan kita bisa
berjumpa dengan Allah bukan karena
kita melakukan amal ibadah.
Melainkan, karena kita diperintahkan
untuk melakukannya, dan kita akan
terus melakukannya bahkan jika
tidak ada surga atau neraka.
Jika pun merasa telah melakukan
pelanggaran, yang sekiranya
membuat Allah murka, maka
bukankah Dia, sang maha pengasih
(juga) maha pemaaf?
Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang terus-menerus
bertobat dan menyucikan diri. (Qs.
Al Baqarah: 222)
Dalam sebuah riwayat dijelaskan
bahwa ada tiga tipe alasan mengapa
manusia menyembah Allah.
Pertama, ketaatan para budak.
Mereka beribadah dan menyembah
Allah hanya karena takut hukuman-
Nya, ia takut masuk neraka akibat
perbuatannya.
Kedua, ketaatan para pedagang.
Mereka beribadah dan menghitung-
hitung setiap detail perbuatannya
dan kemudian berusaha menimbang,
seberapa banyak reward yang
mereka dapatkan untuk setiap
perbuatannya.
Kedua jenis tipe ketaatan ini banyak
terdapat di tengah-tengah kita.
Beberapa orang di antara mereka
takut meninggalkan kewajiban hanya
karena takut mendapat balasan
neraka. Beberapa di antaranya lagi
butuh motivasi yang dapat
membuatnya semangat beribadah,
kaitannya dengan besarnya nilai
pahala. Jika pahalanya besar, maka
ia akan bergegas segera
melakukannya. Sebaliknya, jika
pahalanya dinilai kecil, tak sungkan-
sungkan ia pun berleha-leha
terhadapnya.
Tidak ada yang salah dan buruk dari
kedua tipe ketaatan ini. Namun,
Rasul Saw. merekomendasikan tipe
ibadah bentuk ketiga, dan ini
merupakan bentuk ketaatan tingkat
tertinggi seorang hamba Tuhan.
Yakni, ketaatan para pecinta yang
berdasarkan rasa syukur.
Segala hal yang dilakukan para
pecinta ini diniatkan hanya karena
alasan mencintai-Nya, dan
karenanya ia ingin mendapatkan
ridha-Nya. Mereka benar-benar
percaya, apa pun yang dilakukannya
didasarkan atas dasar keyakinannya
akan Dia yang maha pengasih.
Mereka tidak takut apakah yang
dilakukan itu mengantarkannya ke
surga, atau bahkan ke neraka. Ia
hanya yakin bahwa hanya Allah lah
yang memang layak untuk
disembah.
Hal ini dicontohkan Muhammad Saw.
Meski sudah dijamin masuk surga,
dan bahkan Allah menjanjikan
kenikmatan langsung berjumpa
dengan Sang Maha Rahman, namun
beliau tetap saja melakukan ibadah.
Beliau tidak sekali pun
meninggalkan kewajibannya sebagai
Muslim. Beliau berdoa, shalat,
bangun di tengah malam tahajud,
hingga kakinya bengkak.
Ketika Aisyah ra bertanya mengapa
dia salat sunnah begitu banyak,
padahal Rasul tahu bahwa Allah
telah mengampuni masa lalu dan
masa depannya, ia menjawab, Tidak
pantaskah aku menjadi hamba yang
bersyukur?
Inilah yang dimaksud Ibn Atoilah,
Amal kita bukan alasan bagi
keselamatan kita. Kasih dan
sayang-Nya lah satu-satunya alasan
mengapa kita mendapat
keselamatan.
Kita menyembah karena Allah
memerintahkan kita untuk
melakukannya dan Dia Maha Tinggi,
sehingga memang layak disembah.
Ketika kita berdosa atau lalai akan
kewajiban di suatu waktu, maka
bukankah kembali, bertaubat,
merintih pada-Nya merupakan satu-
satunya jalan yang amat mulia untuk
menggapai rahmat-Nya?
0 Response to "Bukan Amal dan Ibadah yang Bawa Orang ke Surga"
Posting Komentar