Jumat, 27 Januari 2017
info islam
Imlek Meminta Angpau = Menjual Agama dan Akidah?
TANGAN yang di atas itu lebih baik
dari pada tangan yang di bawah. Jadi
kita sebagai muslim memang
seharusnya menjadi donatur dan
bukan menjadi peminta-minta.
Hanya yang jadi masalah,
kebanyakan umat Islam kebetulan
atau memang disengaja, umumnya
berada di bawah garis batas
kesejahteran, alias fuqara' wal
masakin.
Pemerintah sebagai pihak yang
paling bertanggung-jawab masalah
kesejahteraan rakyat, rasanya
terlalu naif untuk diminta
memikirkannya. Alih-alih
memikirkan rakyat, yang terlintas di
benak para pejabat itu lebih sering
tentang bagaimana bisa menang
pada pemilihan, atau bagaimana
melanggengkan kekuasaannya.
Rakyat mau sedang mau susah,
bukan urusan saya.
Demikian juga dengan organisasi
massa keagamaan, kalau bukan
sibuk dengan konflik internalnya,
yang nyaris tidak pernah selesai,
biasanya juga tidak punya sarana
untuk memakmurkan rakyat.
Para ustadz dan da'i bagaimana?
Jangan diminta mereka untuk
memikirkan masalah ekonomi dan
kesejahteraan umat. Sebab mereka
sendiri pun kebanyakannya juga
berekonomi lemah. Dengan
pengecualian para da'i selebriti yang
sering muncul di televisi. Ekonomi
mereka mungkin sedikit tertunjang,
tapi jelas tidak mungkin diminta
untuk menyelesaikan problem
kemiskinan.
Maka jadilah kita, bangsa Indonesia
yang muslim ini, mayoritas berada di
lembah kemiskinan dan kefakiran
yang akut. Maka jangan salahkan
kalau kita melihat sebagian mereka
di televisi lagi antri menerima
angpau. Jangan salahkan mereka
kalau harus terpaksa menadahkan
tangan kepada non muslim. Jangan
salahkan mereka bila sekampung
murtad semua, karena tidak tahan
dengan kemiskinan yang melilit.
Mungkin dalam hati mereka bilang,
"Sudah lah pak, jangan meributkan
masalah akidah, lha wong perut
saya ini lapar. Siapa yang memberi
makan saya, maka saya ikut saja."
Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun,
sudah sedemikian parahkah
kemiskinan di negeri ini, sampai kita
harus menjual agama dan akidah?
Padahal iman di dada ini adalah
harga diri satu-satunya yang masih
bisa dibanggakan. Namun perut yang
merintih minta diisi, tangis bayi yang
tidak punya susu, harga-harga yang
semakin tidak terjangkau, lahan
pertanian yang semakin sempit,
pekerjaan yang tidak menentu,
semua telah memaksa umat ini
untuk menyerah kalah.
Benarlah ungkapan bahwa kefakiran
itu nyaris akan membawa kepada
kekafiran. Meski rakyat negeri ini
hidup di atas negeri yang subur,
dengan kekayaan alam berllimpah.
Tapi seribu sayang, semua itu justru
tidak bisa dinikmati oleh rakyat
sendiri. Sebab semua sudah dilego
untuk kepentingan bangsa asing
dengan kesepakatan timpang
bersama dengan para pemegang
birokrasi.
Jadi PR besar buat teman-teman
para da'i yang menyatakan diri
berjuang dari 'dalam birokrasi'
adalah membuat kebijakan yang
adil. Kebijakan itu seharusnya sudah
bisa dirasakan hasilnya saat ini,
setidaknya berupa kebijakan yang
membela kaum lemah, demi
mengentaskan kemiskinan dan
kefakiran yang masih saja melekat
di tubuh umat.
Karena toh ketika dulu kampanye
memang slogan-slogan itulah yang
selalu dikumandangkan. Sekarang
tinggal kita menagih janji. Bukankah
janji itu hutang, ustaz? Wallahu
a'lam bishshawab, wassalamu
'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
0 Response to "Imlek Meminta Angpau = Menjual Agama dan Akidah?"
Posting Komentar