Bakhtiar, Al Ghazali, Kocek: Ketika Persia Disangka Arab?


Santri di Jawa.
Oleh: Prof DR Abdul Hadi WM*

Saya punya kawan dan kenal sejumlah orang bernama Bahtiar/ Bakhtiar/Bachtiar. Di antaranya Prof Harsja Bachtiar, dosen anthropologi UI yang pernah menjabat sebagai kepala konsorsium kurikulum di Kementrian P dan K dulu.

Kemudian Bachtiar Aly, kawan saya di Universitas Pajajaran yang kini jadi guru besar ilmu politik di UI. Mantan Dubes RI untuk Mesir itu sekarang bergabung dengan Surya Paloh dalam Partai Nasdem. Dia berasal dari Aceh, tetapi tidak lebih islami dari saya.

Kemudian Bachtiar Chamsyah, mantan petinggi PPP. Lantas Bahtiar Effendy, guru besar ilmu politik di UIN Sunan Kalijaga. Saya akrab dengannya gara-gara diminta mengajar di Program Pasca-Sarjana Universitas Muhammadiyah. Waktu itu dia menjadi salah seorang ketuanya, menggantikan Dien Syamsudin Seorang lagi yang saya kenal akrab adalah Buya Bachtiar, mantan Ketua DPW Muhammadiyah Sumatra Utara.

Dia saya kenal karena kami bersama-sama Buya Syafii Maarif dan lain-lain diundang ke Tripoli oleh pemimpin Libya Qadafi pada tahun 1998. Dan banyak lagi yang tak bisa saya sebutkan di sini. Namun pada umumnya mereka berasal dari Sumatra.

Dulu saya menyangka bahwa nama Bahtiar itu nama Arab sebagaimana nama Iskandar, dan lain-lain. Ternyata nama-nama itu adalah nama Persia. Nama Bahtiar menjadi terkenal setelah populernya sebuah hikayat berbingkai dalam bahasa Melayu yang disadur dari sastra Persia yaitu "Hikayat Bakhtiar".

Nma Bakhtiar dalam hikayat Persia mungkin bisa dilacak pada epik Shahnamah karangan Ferdawsi, penyair Persia abad ke-10-11 M. Nama PM Iran pada saat runtuhnya Shah Iran ialah Shapour Bkhtiar.


Santri di pedalaman Jawa tahun 1910.
Dalam sastra Melayu Lama memang tidak terkira banyaknya hikayat dan syair yang bersumber dari sastra Persia. Tetapi orang Indonesia ibarat kacang lupa akan kulitnya. Mereka menyangka hikayat-hikayat itu sumbernya dari Arab dan dibawa masuk ke Nusantara bersama datangnya agama Islam oleh orang Gujarat. Ini jelas sebuah keteledoran.

Sudah berulang kali ahli sejarah membetulkannya, tetapi pengetahuan umum tentang sejarah kebudayaan Islam di kalangan masyarakatlah sangatlah tidak memadai. Banyak orang Islam menyangka bahwa penyebar agama Islam di Nusantara dodominasi oleh pendatang dari Hadramaut atau Yaman. Dan lupa bahwa tidak sedikit di antara mereka juga berbangsa Parsi, Turki, Indo-Parsi, Tionghwa, Hui, dan juga orang-orang keturunan Melayu, Jawa, Bugis, Sumbawa, Banjar, Mandailing dan Madura.

Perhatikan pula betapa banyaknya kata-kata Persia diserap ke dalam bahasa Melayu. Contohnya kata- kata seperti: saudagar, baju, kelasi, nakhoda, bazar, agar-agar, anyir, badam, syahbandar, bandar, cap, daftar, darwis, peringgi (dari faringgi), kocek, kasykul, tamasya, kare, kabin, kebab, lasykar, serdadu, syal, destar, seluar, tegang, tahta, bedebah, dan lain sebagainya.

Banyak pula orang Islam di Indonesia tidak tahu bahwa Syekh Abdul Qadir Jaelani, Imam al- Ghazali, Abdul Karim al-Jili, serta sejumlah imam dari madzab fiqih Sunni Syafeei berasal dari Persia. Mereka juga, sebaliknya tidak tahu bahwam imam fiqih dari Syiah Imam 12 adalah keturunan Arab bernama Imam Ja`far Sadiq.

Selain itu, kata-kata Persia dan Arab yang diserap ke dlaam bahasa Jawa, Sunda, dan Madura melalui bahasa Melayu. Sebab awal-awalnya kitab-=kitab keagamaan dalam bahasa Jawa, Sunda dan Madura adalah salinan atau terjemahan dari kitab-kitab berbahasa Melayu. Aksaran Pegon di Sunda, Jawa, dan Madura, juga yang dipakai orang Bugis, Makassar, Minangkabau, Aceh, Palembang dan lain-lain bersumber dari aksara Arab Melayu (Jawi), sedangkan aksara Jawi disusun berdasarkan sistem aksara Arab Persia atau Persia. Nama adik saya Ruslan atau Rusia. Persoalannya di Indonesia ketia disebut Iran atau Persia selalu diidentikkan sebagai Syiah. Ini salah besar. Madzab Syiah dominan di Iran sejak abad ke-17 M, pada masa pemerintahan Dinasti Safawi. Sedangkan sumber-sumber Persia yang masuk ke Indonesia berasal dari abad ke-1-15 M.

Nah karena itu jangan terlalu mudah mengumbar kata kearab- araban, sebab banyak yang dikatakan kearab-araban sebenarnya bisa kepersia- persiaan, keindia-indian, bahkan keturki-turkian dan kecina- cinaan.

Kenapa 'kekacauan pikiran' terajdi? Jawabnya, ya arena terlanjur salah kaprah. Maka pelajaran sejarah Islam dan sejarah kebudayaan Islam di madrasah dan pesantren harus dibetulkan. Tidak Arab sentris.

*Prof DR Abdul Hadi WM: Penyair Sufi, Pengajar Universiti Sains Malaysia, Guru Besar Falasah dan Agama Universitas Paramadina.

0 Response to "Bakhtiar, Al Ghazali, Kocek: Ketika Persia Disangka Arab?"

Posting Komentar

visitor


How Many People Visit
How Many People Visit