Kemiskinan telah menempa diri
Rabiah Al-Adawwiyah. Ia tak
berpaling dari Tuhannya. Kepapaan
yang lekat pada dirinya tak
memadamkan api cintanya kepada
Allah SWT. Sebaliknya, ia selalu
mendekat untuk menunaikan
pengabdian yang tulus melalui
gerak ibadah dan lantunan munajat
yang tak berkesudahan.
Rabiah menjelma menjadi sosok
perempuan yang menjadi teladan.
Kedekatan dengan Allah membuat
banyak orang ingin mencontohnya.
Meski tak begitu lama, Rabiah
mendapatkan pengajaran dari
ayahnya yang juga seorang sufi.
Ayahnya, selain dikenal sebagai
ulama, juga selalu menyandarkan
segalanya kepada Allah.
Sudah menjadi hal biasa jika tak
ada minyak di rumah orang tua
Rabiah untuk menyalakan lentera
di kala malam. Suatu malam,
ibunya meminta ayah Rabiah untuk
meminjam minyak ke tetangga.
Namun, pantang bagi ayahnya
meminta pertolongan kepada siapa
pun. Ia hanya berhasrat atas
pertolongan dari Allah.
Maka, untuk sekadar
menyenangkan hati istrinya, ayah
Rabiah berpura-pura menyambangi
rumah tetangga untuk meminjam
sedikit minyak. Tentu saja, pada
akhirnya, ia pulang dengan tangan
hampa. Pada malam kelahiran
Rabiah, ayahnya bermimpi dengan
Nabi Muhammad.
Dalam mimpinya, sufi tersebut
mendengar putrinya yang keempat
itu bakal menjadi perempuan
saleh. Sayang, ayah dan ibunya
tak berkesempatan melihat Rabiah
sebagai seorang perempuan sufi
yang banyak dikagumi, baik
karena begitu rajinnya beribadah
maupun kedalaman ilmu yang
dimilikinya.
Margaret Smith dalam Rabi’a: The
Life & Work of Rabi’a and Other
Women Mystics in Islam
mengatakan, pada masa-masa
awal kehidupannya, orang tua
Rabiah mengembuskan napas
terakhir. Lalu, Rabiah bersama
saudara-saudara perempuannya
hidup sebagai yatim piatu.
Menurut cendekiawan Farid al-Din
Attar, setelah kematian ayahnya,
bencana kelaparan membalut kota
kelahiran Rabiah, Basra, Irak.
Rabiah juga terpisah dengan
saudara perempuannya. Sejumlah
informasi mengungkapkan, Rabiah
ikut sebuah karavan yang akhirnya
dihadang perompak.
Ia kemudian dijadikan sebagai
budak yang dijual di pasar budak
oleh perompak itu. Ia akhirnya
mendapatkan majikan baru.
Kondisinya sebagai budak dengan
setumpuk pekerjaan tak
menghalanginya menjalin
komunikasi dengan Tuhan. Setelah
menyelesaikan semua
pekerjaannya, ia menekuni ibadah.
Ia juga sering menjalani puasa. Di
sebuah pertengahan malam,
majikan Rabiah melihatnya
khusyuk beribadah dan
melantunkan doa. Dia mendengar
Rabiah bermunajat. Rabiah ingin
menjalankan semua perintah dan
mengabdi dengan sepenuh hati
kepada Allah SWT.
Dalam doanya, Rabiah bertekad
melakukan ibadah pada siang dan
malam. Maka itu, ia berharap
terbebas dari belenggu perbudakan
oleh manusia agar hanya
menghamba kepada-Nya. Doa
Rabiah menggetarkan sang
majikan yang mendengarnya dan
bertekad untuk membebaskannya.
Ia yakin Rabiah adalah sosok yang
dekat dengan Tuhan. Ia bahkan
bersedia untuk menjadi
pelayannya. Keesokan harinya,
majikan itu memanggil Rabiah dan
melontarkan niatnya
membebaskan Rabiah. Lalu,
Rabiah menegaskan bahwa ia ingin
meninggalkan rumah sang majikan
untuk mendalami ilmu agamanya.
Rabiah sangat ingin berguru pada
mereka yang memiliki berlimpah
ilmu. Ia kemudian meninggalkan
rumah itu dan berkelana di padang
pasir. Bahkan, ia juga mengikuti
langkah kakinya hingga ke Tanah
Suci, menunaikan ibadah haji.
Dalam kurun waktu itu, Rabiah pun
mendapatkan guru bernama
Hassan Basri.
Di sisi lain, Rabiah tetap
membiarkan dirinya tak memiliki
banyak harta. Kendi dari tanah liat,
karpet usang, serta sebuah bata
sebagai bantal merupakan harta
berharga yang selalu ia jaga.
Namun, itu semua tak
menyurutkan semangatnya
beribadah. Ia menghabiskan
malam merenung dan
mendekatkan diri kepada Allah.
Kabar kesalehan Rabiah kemudian
menyebar. Lalu, banyak
cendekiawan dan ulama menjalin
komunikasi dan berdiskusi
dengannya. Menurut dia, sebuah
tobat yang diterima Allah adalah
anugerah tak terhingga. Ia
mengingatkan pula, seseorang
yang melakukan dosa kelak
mendapatkan balasan atas
perbuatan dosanya itu.
Yusuf Al-Qaradhawi dalam
bukunya, Fatwa-Fatwa
Kontemporer, menyatakan bahwa
Ibnul Jauzi mengutip Abdullah bin
Isa, menceritakan mengenai
kesalehan Rabiah ini. Menurut
Abdulla bin Isa, ia pernah masuk
ke rumah Rabiah dan melihat
wajah Rabiah bercahaya dan dia
banyak sekali menangis.
Lalu, ada seorang lelaki yang
membaca Alquran tentang neraka,
Rabiah menjerit dan terjatuh.
Ketika mengingat mati, air mata
Rabiah akan meleleh dan
gemetarlah tubuhnya,” ungkap
Abdullah bin Isa. Abdah binti Abi
Syawal, pelayan Rabiah, juga
menyampaikan kesaksiannya.
Rabiah, jelas dia, bisa melakukan
shalat malam sampai semalam
suntuk. Bila fajar terbit, Rabiah
tidur sejenak di tempat shalatnya,
hingga fajar cerah. Saat Rabiah
bangkit dari tidurnya, Abdah
mendengar Rabiah berseru berapa
lamakah dirinya tertidur dan
sampai kapan ia bangun. Menurut
Abdah, itu kebiasaan Rabiah
hingga meninggal dunia.
Orang-orang saleh menunjuk
perkataan Rabiah mengenai rasa
takut dan cintanya kepada Allah.
Aku memohon ampun kepada Allah
karena sedikitnya kejujuranku
dalam mengucapkan
astaghfirullah.” Menurut Al-
Qaradhaqi, ini memperlihatkan
Rabiah termasuk orang yang takut
sekaligus cinta kepada Allah.
Rabiah, yang lahir pada 98 Hijriah
di Basra, mengembuskan napas
terakhirnya di Yerusalem pada 184
Hijriah.
0 Response to "Saat Mengingat Mati, Air Mata Rabiah Meleleh"
Posting Komentar