Selasa, 03 Januari 2017
info islam
Ambil Untung tanpa Batas Maksimal, Bolehkah?
Pembeli meliahat barang yang di
jual Pedagang kaki Lima (PKL) di
Pasar Balimester, Jatinegara,
Selasa (22/11).
Amat banyak anak muda Muslim
yang terinspirasi dengan kisah
Rasulullah. Komunitas-komunitas
usaha pun dibangun demi
menciptakan jejaring wirausaha.
Mentoring dilakukan untuk
membangun jaringan dan berbagi
ilmu juga pengalaman bisnis.
Hanya, masih menjadi pertanyaan
di kalangan para pengusaha muda
itu bolehkah mengambil untung
atau laba tanpa batas maksimal?
Apakah Islam mengatur batasan
berapa yang diambil pedagang
dalam mengambil laba dari barang
yang diperjualbelikan?
Berdagang adalah salah satu
kegiatan yang cukup sering
dibahas di dalam Alquran. Allah
SWT menghalalkan dagang dan
mengharamkan riba. "...Allah telah
menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.."(QS Al
Baqarah:275). Di dalam surah
lainnya, Allah SWT berfirman agar
orang-orang beriman tidak
memakan harta sesamanya dengan
jalan yang batil. Kecuali dengan
jalan perniagaan. "Hai orang-
orang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil kecuali
dengan jalan perniagaan yang
berlaku suka sama suka di antara
kamu" (QS An-Nisa:29).
Yusuf Qaradhawi dalam Fiqih
Kontemporer menjelaskan, Tijarah
(berdagang) adalah membeli sil'ah
(barang dagangan) dan menjualnya
kembali dengan maksud untuk
mendapatkan keuntungan. Tajir
(pedagang) adalah orang yang
membeli sil'ah untuk dijualnya
kembali dengan maksud mendapat
keuntungan. Sil'ah kadang-kadang
disebut dengan al-bidha'ah atau
al-'ardh dengan bentuk jamak
al-'urudh. Sedangkan, ar-ribh
(keuntungan), yaitu tambahan
harga barang yang diperoleh
pedagang antara harga pembelian
dan penjualan barang yang
diperdagangkannya.
Di dalam QS al-Jumuah, Alquran
membahasakan jual beli lewat
pesan tersirat, yakni mencari
karunia Allah (Fadhlillah). Firman
Allah itu disampaikan seusai
menyeru orang-orang beriman
untuk melaksanakan shalat Jumat.
"Hai orang-orang yang beriman,
apabila diseru untuk menunaikan
shalat pada hari Jumat, maka
bersegeralah kamu untuk
mengingat Allah dan tinggalkan
jual beli. Yang demikian itu lebih
baik bagimu jika kamu
mengetahui. Apabila shalat telah
dilaksanakan, maka bertebaranlah
kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah
sebanyak-banyaknya supaya
kamu beruntung. (QS al-Jumuah
ayat 9-10).
Kegiatan manusia untuk mencari
karunia Allah SWT lewat
berdagang dilakukan untuk
mencari keuntungan. Mengutip
hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Thabrani, Qaradhawi
menjelaskan adanya batas
keuntungan minimal yang harus
diraih oleh pedagang. Hadis itu
berbunyi,"Perdagangkanlah harta
anak-anak yatim, jangan sampai
dimakan zakat."
Qaradhawi menjelaskan, hadis
tersebut menunjukkan adanya
batas minimal keuntungan yang
harus diperoleh pedagang.
Keuntungan tersebut sepatutnya
dapat digunakan untuk membayar
zakat modal yang digunakan untuk
berdagang. Ketika zakat 2,5
persen dikeluarkan, harta yang
diperoleh tinggal 97,5 persen.
Karena itu, modal seharusnya tidak
termakan zakat dan cukup untuk
nafkah dirinya beserta
keluarganya.
Dengan dalil ini, Qaradhawi
beralasan, pemilik modal yang
sedikit harus mendapatkan
keuntungan lebih banyak. Caranya
sesuai dengan strategi
perdagangan yang ditempuh.
Apakah dengan menaikkan
frekuensi pemutarannya atau
menaikkan margin labanya
sehingga keuntungannya dapat
digunakan untuk menutup
kebutuhan keluarga. Jika tidak
demikian, modal akan dikurangi
oleh kebutuhan rumah tangga.
Lantas, bagaimana jika si
pedagang tidak menetapkan
margin laba maksimal? Qaradhawi
menjelaskan, tidak ada satu pun
ayat dalam Alquran atau hadis
yang mewajibkan atau
menyunahkan batas keuntungan
tertentu. Apakah sepertiga,
seperempat, seperlima, atau
sepersepuluh dari pokok barang
sebagai ikatan dan ketentuan yang
tidak boleh dilampaui.
Rasulullah SAW bahkan, pernah
mendapatkan laba hingga 100
persen saat jual beli kambing.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari,
"Bahwa Nabi SAW memberinya
(urwah) uang satu dinar untuk
dibelikan kambing. Maka,
dibelikannya dua ekor kambing
dengan uang satu dinar. Kemudian,
dijualnya yang seekor dengan
harga satu dinar. Setelah itu, ia
datang kepada Nabi SAW dengan
membawa uang satu dinar dan
seekor kambing. Kemudian, Nabi
SAW mendoakan semoga jual
belinya mendapat berkah. Dan
seandainya uang itu dibelikan
tanah, niscaya mendapat
keuntungan pula".
Dikutip dari buku Fikih Ekonomi
Keuangan Islam, semua
perniagaan yang dicontohkan di
dalam Islam tidak mengandung
unsur kezaliman. Tak ada
penipuan, manipulasi, monopoli,
memanfaatkan keluguan, dan
ketidaktahuan pembeli,
terdesaknya kondisi pembeli
kemudian harga ditinggikan. Di
sisi lain, Islam mengajarkan
umatnya untuk bersyukur atas
rezeki yang diberikan Allah SWT
berapa pun nilainya. Sesuai firman
Allah SWT QS Al Baqarah:172.
"Hai orang-orang yang beriman,
makanlah di antara rezeki yang
baik-baik yang Kami berikan
kepadamu dan bersyukurlah
kepada Allah, jika benar-benar
hanya kepada-Nya kamu
menyembah."
Ali bin Abi Thalib terbiasa
berkeliling pasar Kufah dengan
membawa tongkat. Dia berseru
kepada para pedagang. "Hai para
pedagang, ambillah hak kalian,
kalian akan selamat. Jangan
kalian tolak keuntungan yang
sedikit, karena kalian bisa
terhalang mendapatkan keuntungan
yang besar." Wallahualam.
0 Response to "Ambil Untung tanpa Batas Maksimal, Bolehkah?"
Posting Komentar