Jumat, 06 Januari 2017
info islam
Jika Nabi Telah Wafat" Akan Kunikahi Aisyah
TIAP pahlawan punya kisahnya
sendiri. Di perang Uhud, ketika
tubuhnya memerisai Rasulullah dan
tujuh puluh luka berlomba menguras
darahnya, Thalhah ibn Ubaidillah
berdoa sambil menggigit bibir.
Rabbii, begitu lirihnya, Khudz
bidaamii hadzal yauum, hattaa
tardhaa. Ya Allah, ambil darahku
hari ini sekehendakMu hingga
Engkau ridha. Tombak, pedang, dan
panah yang menyerpih tubuh
dibiarkannya, dipeluknya badan
sang Nabi seolah tak rela seujung
bulu pun terpapas.
Kalau ingin melihat syahid yang
masih berjalan di muka bumi, begitu
Sang Nabi bersabda, Lihatlah pada
Thalhah. Dan Thalhah, yang jalannya
terpincang, yang jarinya tak utuh,
yang tubuhnya berlumur luka
tersenyum malu dan menitikkan air
mata. Terlihatlah di pipinya bening
luh itu, mengalir di atas darah yang
mengering merah. Tetapi tiap
pahlawan punya kisahnya sendiri
Satu hari ia berbincang dengan
Aisyah, isteri sang Nabi, yang masih
terhitung sepupunya. Rasulullah
datang, dan wajah beliau pias tak
suka. Dengan isyarat, beliau
Shallallaahu Alaihi wa Sallam
meminta Aisyah masuk ke dalam
bilik. Wajah Thalhah memerah. Ia
undur diri bersama gumam dalam
hati, Beliau melarangku berbincang
dengan Aisyah. Tunggu saja, jika
beliau telah diwafatkan Allah, takkan
kubiarkan orang lain mendahuluiku
melamar Aisyah. Satu saat
dibisikannya maksud itu pada
seorang kawan, Ya, akan kunikahi
Aisyah jika Nabi telah wafat.
Gumam hati dan ucapan Thalhah
disambut wahyu. Allah menurunkan
firmanNya kepada Sang Nabi dalam
ayat kelimapuluhtiga surat Al Ahzab,
Dan apabila kalian meminta suatu
hajat kepada isteri Nabi itu, maka
mintalah pada mereka dari balik
hijab. Demikian itu lebih suci bagi
hati kalian dan hati mereka. Kalian
tiada boleh menyakiti Rasulullah dan
tidak boleh menikahi isteri-isterinya
sesudah wafatnya selama-lamanya.
Ketika ayat itu dibacakan padanya,
Thalhah menangis. Ia lalu
memerdekakan budaknya,
menyumbangkan kesepuluh untanya
untuk jalan Allah, dan menunaikan
umrah dengan berjalan kaki sebagai
taubat dari ucapannya. Kelak, tetap
dengan penuh cinta dinamainya putri
kecil yang disayanginya dengan
asma Aisyah. Aisyah binti Thalhah.
Wanita jelita yang kelak menjadi
permata zamannya dengan
kecantikan, kecerdasan, dan
kecemerlangannya. Persis seperti
Aisyah binti Abi Bakr yang pernah
dicintai Thalhah.
Begitulah, tiap pahlawan punya
kisahnya sendiri. Sesudah wafatnya
Utsman ibn Affan di tangan para
pemberontak, fitnah besar itu
terjadilah. Thalhah bersama Zubair
ibn Al Awwam dan Aisyah
memerangi Ali ibn Abi Thalib untuk
menuntut bela kematian Utsman,
meminta ditegakkannya keadilan
atas para pembunuh Utsman yang
sebagiannya kini menjadi penyokong
utama kekhalifahan Ali ibn Abi
Thalib. Keadaan sangat tidak mudah
bagi Ali. Pilihan-pilihannya terbatas.
Thalhah tahu itu. Tapi dia sendiri
juga kesulitan bersikap lain di
tengah kedua kubu.
Satu hari, dalam perang yang dikenal
sebagai Waqah Jamal itu, Ali
mengirim utusan, memohon agar
bisa berjumpa dengan kedua sahabat
yang dicintainya; Thalhah dan Az
Zubair. Mereka berdua datang.
Mereka bertiga berpelukan. Tak
terasa air mata meleleh. Kenangan-
kenangan ketika ketiganya bersipadu
di sisi Rasulullah berkelebatan
dengan indah. Namun kini terasa
menyesakkan. Menyakitkan. Dulu
pedang mereka seayun, langkah
mereka sebaris, tangannya
bergandengan. Kini mereka harus
berhadapan saling menghunus
pedang, dengan mata saling menatap
tajam, tapi hati tersembilu.
Dan seolah tak ada jalan selain itu.
Sesudah menyeka air mata, Ali
menggenggam jemari Thalhah dan
menatap dalam ke wajahnya. Dengan
menghela nafas, Ali mencoba
menyusun kata. Ingatkah engkau hai
Thalhah, mengapa Allah turunkan
ayat tentang hijab bagi isteri Nabi
dan mengapa Dia melarang kita
untuk menikahi janda beliau?
Thalhah terisak. Dadanya
bergemuruh oleh malu dan sesal.
Bahu kekarnya bergeletar.
Ali menepuk bahu Thalhah. Ya,
katanya sambil mengalihkan
pandangan, tak sanggup melihat
tercabiknya batin Thalhah oleh kata-
katanya. Tapi demi perdamaian dan
persatuan kembali kaum Muslimin,
Ali mau tak mau harus mengatakan
ini. Ia menguatkan hati. Ayat itu
turun karena maksud hati dan
ucapanmu untuk menikahi Aisyah.
Ali meraba reaksi Thalhah. Lalu Ia
melanjutkan sambil menatap tajam
pada sahabatnya itu. Dan kini
sesudah beliau Shallallaahu Alaihi
wa Sallam benar-benar wafat,
mengapa engkau justru membawa
Aisyah keluar dari hijabnya dan
mengajaknya mengendarai unta dan
berperang di sisimu?
Thalhah menubruk Ali, memeluk dan
menangis di bahunya. Hari itu
mereka sepakat berdamai dan
menyudahi perang saudara. Dan di
hari itu pula, sepulang dari kemah
Ali, Thalhah, bersama Az Zubair
sahabatnya dibunuh oleh orang-
orang yang tak menghendaki
perdamaian. Dan Ali ibn Abi Thalib
dengan duka yang begitu dalam, sore
itu, menggali kubur untuk kedua
cintanya.
Seusai pemakaman, Ali menimang
putra Thalhah yang masih kecil.
Kepada bocah itu dia berbisik. Nak,
kata Ali, Aku sungguh berharap, aku
dan ayahmu termasuk orang-orang
yang difirmankan oleh Allah di Surat
Al Hijr ayat keempatpuluh tujuh; Dan
kami lenyapkan segala rasa dendam
yang berada dalam hati mereka,
sedang mereka merasa bersaudara
duduk berhadapan di atas dipan-
dipan.
0 Response to "Jika Nabi Telah Wafat" Akan Kunikahi Aisyah"
Posting Komentar